Oleh
Mayshiza Widya*
Anis menuruni anak tangga dengan lesu, langkahnya
gontai, rambutnya acak-acakan dan wajahnya kucel, terlihat kalau baru bangun
tidur. Ia masih mengenakan piama kesayangannya yang bergambar Tedy Bear,
padahal sengatan sinar matahari dari balik jendela menunjukkan kalau hari sudah
siang. Mama memang sengaja tidak membangunkannya, lebih tepatnya ia tidak tega
mengganggu tidur Anis yang pulas dan tampak kelelahan.
Dibantingnya tubuh Anis diatas sofa. Ia mendengar
kasak-kusuk mama yang sedang sibuk di dapur dan memasak sesuatu untuknya. Sesekali terdengar bunyi letupan dari dalam
microwave atau suara sreng-sreng dari penggorengan, tapi Anis malah cuek aja
dan nggak berniat untuk ngebantuin. “Tumben mama masak sendiri, biasanya ada
Bik Minah yang nyiapin sarapan pagi!” gumam Anis.
Anis meraih remote control diatas meja dan mulai
menyalakan TV, berharap ada program acara yang bagus pagi ini. Ia memencet-mencet
angka di remote control, tayangan infotainment, acara masak, berita korupsi
angelina sondach, kartun shaun the sheep, program music, film vampire.
“Ugh, kok nggak ada yang bagus sih. Lama-lama
tayangan di TV-TV nggak ada yang berkualitas. Semuanya mengejar untung dengan
kenaikan rating. Menyebalkan,” gerutu Anis. Weekend seperti ini memang sering
dihabiskannya dengan bermalas-malasan di rumah. Maklum disamping sekolahnya
yang libur, Anis juga bebas dari tugas membantu mama ngurusin toko kuenya.
Hari ini dia bosan setengah mati dengan program
acara TV yang begitu-begitu aja. Ia bangkit dari duduk dan mengambil segelas
air putih, kemudian meneguknya. “Nis, hari ini kamu nggak sibukkan?” Tanya mama
yang muncul dari balik pintu dapur. Ia membawa sebuah nampan besar berisi dua
piring nasi goreng keju dan setoples pop corn karamel kesukaan Anis.
Meletakkannya diatas meja makan, kemudian mama menuangkan segelas susu untuk
Anis.
Anis tak menyahut pertanyaan mamanya, ia mengerutkan
kening dan malah balik bertanya, “Kok Cuma dua, ma. Buat papa, mas Yoga dan
Fandy mana?”
Yang ditanya pun kemudian tersenyum kecil, “Makanya
kalau bangun agak pagian dikit neng. Mereka pergi lari pagi, paling juga
sarapan sekalian. Tadinya mama mau diajak, tapi mama takut ntar kalau kamu
bangun. Nggak ada orang,” jawab mama sambil menyodorkan susu hangat.
“Mbok Nah kemana, ma?”
“Minta libur tiga hari. Katanya anak gadisnya mau
dilamar orang! Makanya tadi mama Tanya, kamu ada janji nggak hari ini?” kata
mama disertai gelengan kepala Anis.
“Kalau gitu ikut mama belanja kebutuhan dapur yuk,
daripada sendirian di rumah!” ajak mama.
“Pagi-pagi buta gini?” sahut Anis, mendengar
komentar anak gadisnya, mama tersenyum manis. Memperlihatkan deretan gigi
putihnya yang terawat dengan baik.
“Jam 09.15 kok dibilang pagi buta, nis. Belanjanya
agak siangan aja, sekalian mama mau ketemu tante Ratih. Teman sekolah mama di
SMA dulu, sekarang dia pindah ke sini.”
“Masa Anis ikut ngerumpi sama emak-emak sih. Tengsin
donk ma, apa kata teman-teman Anis kalau mereka tahu?”
“Bukan gitu, anak tante Ratih juga mau pindah
sekolah. Terus mama merekomendasikan sekolah kamu, lagipula kalian seumuran.
Kamu kan bisa menemaninya, kan dia orang baru disini Nis!”
“Mama…” teriak Anis, tampak kesal. Rona wajahnya
mendadak berubah.
Sebelum Anis sempat melanjutkan kalimatnya, mama
sudah memotong. “Ya, maaf kalau nggak ngomong kamu dulu. Habis mama nggak tahu
mesti gimana, kan dulu mama juga sering dibantuin sama tante Ratih. Jadi waktu
dimintain tolong, mama nggak kuasa menolaknya!”
“Mama kebiasaan deh. Emangnya anak tante Ratih itu
cowok apa cewek?” timpal Anis, yang ditanya hanya mengangkat bahu. Anis
menghela nafas panjang. Ia membayangkan pekerjaan baru selayaknya baby sitter
yang harus jagain bayi setiap saat, “Pasti sangat melelahkan!” batin Anis,
wajahnya kini menjadi mendung.
***
Mall, di sebuah restoran siap saji, dibangku paling
ujung, Anis dan mama tengah duduk menikmati pizza dan minuman soda. Mama tak
berhenti menoleh ke arah pintu masuk untuk sekedar memastikan orang yang mereka
tunggu telah datang. Ia juga berkali-kali memencet tombol di handphonenya,
melakukan panggilan berulangkali, tapi tak juga diangkat.
Mama makin panik, “Apa tante Ratih nggak tahu tempat
ini ya, nis?” ucap mama pada akhirnya.
“Santai aja kali, ma. Ntar juga datang,” komentar
Anis sambil terus mengunyah.
Selang beberapa menit. Seorang ibu muda bersama anak
laki-lakinya menghampiri mereka. “Kartika…” sapa perempuan itu, ia menepuk
punggung mama.
Kontan mama menoleh dan berteriak, “Ratih, apa
kabar?” sambil cipika-cipiki dengan lebay. Anis yang mulutnya penuh makanan
begitu melihat tingkah mereka jadi merasa mual dan ingin muntah. Tapi karena
disamping perempuan yang disebut-sebut mama dengan panggilan Ratih itu ada
seorang cowok keren. Anis nggak jadi muntah, terus buru-buru menelan
makanannya.
“Busyet… ganteng banget,” puji Anis yang nggak
sengaja suaranya cukup keras dan terdengar. Yang dipuji pun menatap Anis
sejenak, lalu tersenyum. Sorot matanya yang teduh membuat jantung Anis berloncat-loncatan.
Tubuhnya tinggi, tegap layaknya cover boy. Hidungnya yang mancung dengan rambut
yang agak kepirangan karena sengatan matahari, juga kulit putihnya membuat
orang tak menyangka kalau cowok itu berdarah jawa-sunda.
“Nis, ini tante Ratih yang mama ceritakan!” ujar
mama yang mengagetkan Anis. Dan bisa ditebak kalau Anis sedang gugup dan salah
tingkah maka penyakit latahnya kambuh.
“Oh, cerita. eh… ya, ma. Tante Ratih ya, aduh.. eh,
aduh…!” mendengar jawaban Anis, tawa pun melumer.
“Maaf, anakku ini agak sedikit latah. Nggak
dibuat-buat kok, juga nggak ngikutin trend latah. Tapi emang latah beneran,”
tukas mama dan membuat wajah Anis jadi merah padam menahan malu. “Anis, salaman
dong sama tante Ratih!” lanjut mama. Anis kemudian menjabat tangan tante ratih
dan menciumnya.
“Kalau ini anakku, namanya Davin. Vin, kasih salam
sama tante Kartika dan Anis,” timpal tante Ratih. Setelah berkenalan dan
memesan makanan, obrolan demi obrolan pun mengalir. Anis mulai akrab dengan
Davin, cowok yang dia sebut ganteng tadi. (Emang bener-bener ganteng sih. Nggak
kalah sama Artis-artis korea yang saat ini lagi digandrungi cewek-cewek).
Dari caranya ngomong, Davin kayaknya anak baik-baik.
Dia bercerita tentang keinginannya tinggal bersama mamanya yang seorang janda,
tentang kepindahan sekolahnya yang sedang dalam proses, tentang hobbynya
ngeband dan nonton DVD, sampai makanan favoritnya seafood. Sedang anis hanya
mendengarkan dan sesekali menanggapi cerita Davin dengan kata-kata “oh, ya?”,
“Masa?”, “Wah..”, “Ya, gue tahu”, dan “begitu.”
Dan kalau boleh jujur, Anis sebenarnya agak minder
juga didepan Davin. Ia nggak punya segudang cerita tentang masa putih abu-abu
yang dilaluinya sudah hampir dua tahun ini. Dia juga nggak merasa menjadi
bagian penting dari teman-temannya, meski pada dasarnya Anis bukan anak yang
introvert dan nggak bisa bergaul. Hanya saja waktu Anis lebih banyak dihabiskan
dengan bantuin mama jagain toko kue. Kadang Anis merasa iri melihat
teman-temannya menghabiskan waktu shopping bersama, ikut kegiatan ekskul dan
jadi idola di sekolah, atau sekedar nonton film sama pacar. Tapi Anis nggak
pernah menyesal kok bisa bantuin mama meringankan bebannya.
Anis bukan common guys. Ia tahu betul bahwa masa
SMA-nya tidak akan bisa diulang, tapi ia sadar kalau masa pubertasnya harus
melibatkan mama. Bukan untuk mendiktenya, tapi untuk membimbingnya agar tidak
terjerumus pada pergaulan bebas. Anis juga tidak menutup diri dan menjadikan
dirinya gadis cupu, ia hanya memilih untuk menjaga keintimannya dengan mama. Nggak
harus menjadi seperti Tian, cewek indo-jerman yang popular disekolahnya dan
punya banyak pacar. Nggak juga seperti Sofyan yang aktif di ekskul, meski
prestasinya standar tapi terpilih sebagai siswa teladan. Atau menjadi seperti
Togar yang merasa dirinya gaul, tapi mendapat rekor nggak naik kelas terbanyak
di sekolah. Anis lebih nyaman kok jadi diri sendiri. “Be your self!” gitu kata
mama ngikutin slogan di TV. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar