Gara-Gara Notbook


Oleh Mayshiza Widya*
Anis melompat kegirangan melihat mama pulang membawa notebook impiannya. Ia memeluk mama sambil menciumi kedua pipi mama secara bergantian. “Mama, I love u full!” teriak Anis ketika menerima benda yang diinginkannya.
Sebenarnya sudah cukup lama Anis ingin mengganti computer di kamarnya dengan notebook yang bisa ditenteng kemanapun ia pergi. Tapi karena mama belum memiliki uang yang cukup untuk membelikannya, terpaksa deh Anis harus sabar menunggu. Ia juga nggak perlu menjual kompeter bututnya, “jadiin aja kenang-kenangan!” begitu komentar mama saat Anis mengusulkan untuk menjualnya. 
Setengah menit kemudian, Anis tampak sibuk mengotak-atik benda imut ditangannya. Tampilannya yang keren dengan warna yang ngejreng membuat Anis cengar-cengir sendiri karena kegirangan. “Ini mah lebih kece dari laptop milik Mas Yoga. Kalau pulang ntar, dia pasti ngiri liat gue punya notebook baru. Nggak bakal gue pinjamin!” celoteh Anis.
“Siapa suruh pelit sama adiknya,” Anis terus aja ngomel sendiri. Ia makin asyik dengan menu di notebooknya, main game, muter winamp, bikin foto dan video rekaman lewat webcamp, buat gambar dengan corelDRAW, bahkan seru-seruan dengan berselancar di internet; facebook, yahoo messenger, twitter, blogspot, google, dan yang lain. Apalagi rumah Anis di dekat jantung kota, jadi karena hotspot area ia bisa mengakses internet sepuasnya dengan free wifi. Nggak perlu takut kehabisan pulsa dan nggak usah repot-repot beli modem.
Tiba-tiba mas yoga mengintip dari balik punggung Anis yang lagi sibuk update status di facebooknya. Anis terlonjak saat hembusan nafas mas Yoga sampai di dekat telinganya. Ia tak menyadari keberadaan kakaknya sedari tadi. “minjem temen?” celetuk Yoga. Anis bersungut-sungut kesal mendengar ocehan kakaknya yang suka mencela dan berkomentar pedas.
“Mau tahu aja apa mau tahu banget? Kasih tau nggak ya?” timpal Anis seraya membawa notebooknya masuk ke kamar.
Yoga tak begitu ambil pusing melihat aksi jutek adiknya, ia menghempaskan tubuh tegapnya di sofa. Mengambil remote control di meja dan memencet tombol untuk menyalakan TV.
Setengah menit kemudian, mama keluar dari dapur membawa sepiring brownies, meletakkanya di atas meja dan duduk di sisi anak sulungnya itu. “Kamu nggak ke kampus hari ini, ga? Mama liat dari pagi kamu nggak keluar dari kamar,” yoga hanya mengeleng mendengar pertanyaan mama.
“Notebook yang dibawa anis tadi punya siapa ma?” Tanya Yoga penasaran.
“Punya Anis, baru mama belikan tadi di toko elektronik om Hermawan. Habis mama udah janjiin lama dan baru bisa beliin hari ini,” jawab mama sambil menggigit sepotong brownies.
Yoga menoleh ke arah mama, agak terkejut. “Kan anis udah punya computer, ma. Lagian ngapain dia dibeliin notebook segala, nggak ada fungsinya, Cuma buat main-main doang!” yoga tampak keberatan dengan sikap yang ditunjukkan mama.
“Nggak apa-apalah, ga. Kan nggak setiap hari mama nurutin kemauan Anis, lagipula itu upah buat dia karena udah bantuin mama jagain toko kue!”
“Ya, mama manjain aja tuh anak. Biar ngelunjak!” yoga masih memperlihatkan sikap tidak sukanya dengan keputusan mama membelikan notebook buat Anis.
“Kapan sih mama manjain anis? Tempo hari kamu minta dibeliin motor, kemarin giliran Fandy yang dibeliin hp baru. Sekarang kalau mama juga nurutin kemauan anis yang minta notebook nggak ada salahnya donk? Mama nggak mau dianggap pilih kasih, kan mama sayang sama semua anak-anak mama!”
“justru itu nunjukin kalau mama nggak adil. Wajar dong kalau aku minta dibeliin motor, itu kebutuhanku buat kuliah. Fandy membutuhkan hp supaya mama tahu dia mesti dijemput pukul berapa, karena jadual les pelajaran sekolahnya nggak tentu. Sedang apa fungsi notebook buat Anis, toh dia udah punya computer untuk ngerjain tugas sekolahnya?” Yoga terus berkelakar.
“Anis butuh notebook agar praktis dan bisa dibawa kemana-mana, jadi tiap ada tugas sekolah nggak harus dikerjain di rumah. Ia bisa ngerjain PR sambil jagain toko kue. Udah deh ga, masa gitu aja diributin!” ujar mama lembut, penuh keibuan.
Yoga menggelengkan kepala, “Mama selalu aja belain Anis. Yoga aja pakai laptop model lama nggak masalah, kenapa anis yang hanya menggunakan computer untuk main game dan online jadi begitu bermasalah dan merasa penting untuk dibelikan notebook baru.”
“Terus maunya kamu gimana?” tukas mama pada akhirnya. Ia tahu benar kalau anak sulungnya sudah bersikap demikian, pasti dia iri pada adiknya dan mau minta sesuatu.
“Yoga yang akan pakai notebook Anis dan dia pakai laptop milik yoga, atau kalau nggak, mama musti beliin Yoga notebook yang sama dengan milik Anis!” mendengar permintaan Yoga, mama tertegun, ia menatap dalam-dalam mata anak laki-lakinya itu.
“Yoga, kenapa kamu nggak mau ngalah sama adikmu? Cuma kamu yang memiliki fasilitas terbaik; motor, hp seri terbaru, anggaran berlebih untuk uang saku dan kebutuhanmu mengerjakan tugas kuliah, laptop, bahkan kamu diberi kepercayaan papa untuk memegang credit cardnya. Sedangkan apa yang diperoleh adik-adikmu? Anis harus menabung untuk membeli baju agar ia bisa tampil di pesta temannya, ia harus bekerja di toko kue mama untuk mendapatkan notebook yang diinginkannya. Sedang Fandy, kalau bukan karena ia mendapat ranking satu di kelas, mama juga nggak akan beliin dia hp baru,” mama prihatin melihat sikap yoga yang kekanak-kanakan.
“terserah… pokoknya kalau mama nggak beliin notebook baru, Yoga akan memakai credit card papa untuk membelinya sendiri!” teriak Yoga kesal.
“kalau kamu sampai lakukan itu, mama akan minta papa memblokir kredit cardnya. Dan kamu nggak bisa ugal-ugalan membelanjakan uang hingga tagihan kartu membengkak.”
 Mendengar jawaban mama, Yoga makin uring-uringan. Ia keluar rumah dan menstater motornya kemudian pergi. Mama duduk dengan lesu sambil menyandarkan kepala di sofa. Ia tampak sedih dan kecewa. Sedang Anis yang sedari tadi mendengarkan pertengkaran mama dengan kakaknya berusaha memahami bagaimana perasaan mama. Ia melangkah, mendekati mama yang matanya berkaca-kaca. Dipeluknya tubuh mama dari belakang, “Maafkan mama sayang, mas Yoga memang keterlaluan!” ujar mama terbata.
Anis menggelengkan kepalanya, “Nggak ada yang perlu Anis maafkan ma, Anis tahu kok kalau mama menyayangi kami semua. Jadi mama nggak usah sedih Cuma gara-gara notebook Anis diminta oleh mas Yoga. Anis ikhlas kok ma, lagipula Anis belum terlalu membutuhkannya. Kan masih ada computer di kamar  yang bisa Anis pakai mengerjakan tugas,” timpal Anis sambil menghapus air mata mama.
“Kamu nggak apa-apa kalau notebookmu diganti dengan laptop milik mas Yoga? Mama jadi merasa bersalah sama kamu, nak!” kata mama, suaranya parau. Anis menggeleng sambil tersenyum. Melihat reaksi Anis, mama merentangkan kedua tangannya dan mendekap tubuh mungil Anis. “terima kasih atas pengertiannya, sayang. Lain waktu mama akan membelikannya lagi untukmu!” lanjut mama.
Anis buru-buru melepaskan pelukan mama, “Nggak perlu, ma. Anis akan belajar mandiri dan menabung sendiri untuk membeli barang yang Anis inginkan. Jadi mama nggak perlu repot!” anis berusaha bersikap dewasa, ia tahu bagaimana sulitnya berada diposisi mama yang harus sabar menghadapi ulah anak-anaknya yang rewel dengan segudang permintaan. Dan bukan Anis namanya kalau tidak mampu meredam kemarahan mama, menghadirkan kembali seulas senyum di bibir mama, dan membuat mama bangga dan bahagia karena telah memiliki buah hati sepertinya. “Sekali lagi, terima kasih jantung hatiku!” ucap mama kemudian mencium kening Anis dengan penuh kasih. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar