MADILOG


Tan Malaka (1943)
SEJARAH MADILOG
Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampong Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.
Buku yang lain ialah Gabungan Aslia sudah pula setengah di tulis. Tetapi terpaksa ditunda. Sebab yang pertama karena kehabisan uang. Kedua sebab sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa dan menggeledah rumah lebih tepat lagi “pondok’’ tempat saya tinggal. Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari mata polisi. Terpeliharalah pula kedua kitab itu dan pengarangnya sendiri seterusnya dari mata dan tongkat kempei Jepang.
Lantaran hawa kediaman saya itu sudah agak panas dan bahaya kelaparan sudah mengintip, maka terpaksalah saya memberhentikan pekerjaan saya meneruskan menulis Gabungan Aslia. Saya bertualang di daerah Banten mencari nafkah sambil memperlindungkan diri pula.
Akhirnya saya dapat pekerjaan tetap di Tambang Arang, Bayah. Disinilah saya mendapat pekerjaan sedikit lebih tinggi dari romusha biasa, (maklumlah orang tak punya diploma dan surat keterangan!) sampai menjadi pengurus semua romusha dan penduduk kota Bayah dan sekitarnya dalam hal makanan, kesehatan, pulang-pergi dan sakit matinya romusha ribuan orang, dengan perantaraan kantor urusan prajurit pekerja.
Sebagai ketua Badan Pembantu Pembelaan (BPP) dan Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3), saya akhirnya sampai dipilih menjadi wakil daerah Banten ke kongres Angkatan Muda yang dijanjikan di Jakarta, tetapi tak jadi itu (bulan Juni 1945). Disinilah saya berjumpa dengan pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dll. yang sekarang mengambil bagian dalam pergerakan Persatuan Perjuangan. Juga dengan pemuda lainnya umpamanya seorang jurnalis yang amat dikenal di sekitar Bayah ketika itu, tak lebih dan tak kurang dari Bang Bejat, alias Anwar Tjokroaminoto dan saudaranya. Resan minyak ke minyak, resan air ke air, kata pepatah.
Demikianlah pengarang ini yang pada masa Jepang itu memperkenalkan dirinya dengannama ILJAS HUSSEIN, dengan jalan memutar sampai juga ke golongan yang dicari yang mulai mengambil bagian besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah golongan pemuda. Pekerjaan revolusioner di samping pemuda itu sampai
sekarang terus berlaku, yakni Persatuan Perjuangan yang sudah mulai menulis sejarah. Atas permintaan pemuda pulalah Madilog sekarang akan disebarkan di antara mereka yang rasanya sanggup menerimanya.
Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya. Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan proklamasi Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di Surabaya bersama pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka palsu……………… bahkan hampir saja Madilog hilang.
Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.

TAN MALAKA
Lembah Bengawan Solo, 15 Maret 1946.


--------------------------------------------------------------------------------------


PENDAHULUAN
IKLIM
Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362.
Semua itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal berumur
sendiri. Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad itu.
11 Juli 1942 petang, saya sampai di Jakarta. Saya meninggalkan Telokbetong pada 7 Juli.
Rupanya sama dengan tanggal Ir Sukarno meninggalkan Palembang. Tetapi ada perbedaan.
Kapal yang saya tumpangi cuma perahu layar tak lebih dari 4 ton, tua dan bocor walaupun
namanya merdu bunyinya "Sri Renyet’’. Perahu layar ini sama sekali menjadi permainan
angin saja. Kalau angin dari belakang majulah dia. Kalau dari muka berlabuhlah dia,
walaupun dekat karang, kalau dia tak mau dibalikkan kembali atau ditenggelamkan. Kapal Ir.
Sukarno kabarnya ditarik oleh kapal motor Jepang. Sebab itu walaupun sama waktu berjalan
dan saya dua kali lebih dekat dari Ir. Sukarno ke tempat yang dituju, saya dua kali selama dia
di jalan baru sampai.
Ada lagi perbedaan. Walaupun pembuangan saya dua kali pula selama pembuangan Ir.
Sukarno yang 10 tahun itu dan saya sebetulnya bukan dikembalikan dengan resmi, melainkan
kembali sendiri saya belum boleh bekerja dengan terbuka. Sedangkan Ir. Sukarno sudah
"diberi’’ izin buat membikin "propaganda’’. Dalam "Sinar Matahari’’ diterbitkan oleh Kepala
Bagian Umum dari barisan propaganda Dai Nippon Palembang dalam No. 49, Kayobi atau
Selasa, 23-6-2602, dalam artikel "Di Barisan Depan’’ tuan Sukarno menganjurkan pada
Rakyat Indonesia bekerja bersama-sama sekuat-kuat tenaga dengan Dai Nippon. Sebab, hanya
dengan bekerja bersama-sama dengan Nippon, kita akan dapat mencapai cita-cita kita
Indonesia Raya dalam lingkungan Asia Raya’’. Senin 13 Juli (jangan takut sama angka 13), Ir.
Sukarno berjabatan tangan dengan Drs. Muhammad Hatta pemimpin Nasionalis Indonesia
yang setingkat tingginya dengan Ir. Sukarno sama-sama cerdik pandai, terpelajar, berani,
tahan dan rela menderita kesukaran hidup, yakni sampai Jepang masuk.
Disamping gambar tertulis : “Ir. Sukarno dan Drs. Muhammad Hatta berjabatan tangansebagai pengakuan bekerja bersama-sama guna masyarakat.”
Dengan hampa tangan saya cari tulisan kedua pemimpin tadi yang bersangkutan dengan
persoalan. 1. bagaimana tata negara Asia Raya, 2. Bagaimana kedudukan Indonesia Raya
dalam Asia Raya cetakan militer Jepang itu, 3. Bagaimana tata negara Indonesia Merdeka
sendiri, 4, 5…………ad.infinitum, yakni tidak berhenti seterusnya …………Kesimpulan:
kedua pemimpin nasionalis sudah mulai menjalankan cita-citanya, ialah di bawah ujung
pedang Samurai.
Akhirnya perbedaan yang ketiga. Sedangkan kedua pemimpin tersebut disambut dengan
kegirangan oleh pengikutnya secara resmi, seperti "bever’’ (berang-berang – catatan editor)
yang terkenal tinggal di lubang yang dibikinnya di bawah air itu, saya masuk mesti memakai
segala anggota keawasan, yang memang sudah terlatih dalam pelarian yang lebih dari 20
tahun lamanya. Apabila kelak sudah pasti bahwa golongan (klas) yang saya pertahankan
selama ini boleh menjalankan haknya, maka barulah kelak saya akan meninggalkan "sarang’’.
Tetapi sarang sekarang memang lebih baik tempatnya dari yang sudah-sudah. Letaknya
tidak lagi di Tiongkok atau di tepi tapal batas Jajahan Belanda, walaupun di Indonesia juga
seperti 4 tahun yang lalu, tetapi di tengah-tengah Rakyat dan kaum yang sebentuk badan dan
mukanya dengan saya dan yang lekas saya bisa mengerti perkataan dan tingkah lakunya.
Tetangga saya tiada lagi cerewet mencampuri, siapa saya, dan dari mana saya datang sebab
bentuk badan, muka dan bahasa semuanya sama………..
Dari sini saya bisa mempelajari sikap dan perbuatan tentara Jepang, serta sikap dan
perbuatan pemimpin Indonesia Raya dalam lingkungan Asia raya. Tetapi saya tiada boleh
mengharapkan lebih dari mempelajarinya saja.
Saya kenal Rakyat Jelata Jepang di masa damai. Mereka tahu membedakan yang buruk
dengan yang baik tentang hal yang datang dari barat. Mereka bersifat berani dan berlaku
ramah tamah terhadap bangsa lain. Tetapi tentara Jepang yang sekarang mengawasi musuh
dengan pedang terhunus, dan sering hilang kesabaran terhadap kaum pekerja bangsa
Indonesia, tiadalah satu organisasi yang patut diajak berembuk tentang politik yang
berdasarkan ke-proletar-an.
Ketua Kota Jakarta (H. Dachlan Abdullah) ini duduk sebangku dengan saya, ketika belajar
di Indonesia dan sering sekamar tidur dan makan di Indonesia dan Eropa. Drs Mohammad
Hatta bukan asing buat saya. Saya belum bertemu muka dengan Ir. Sukarno. Tetapi perkataan
simpati terhadap saya dulu banyak saya baca. Ketiganya mereka ada disini, dekat dan kalau
saya menemui mereka, saya bisa ambil kembali uang saya yang dulu tersimpan dalam Bank
Belanda (Javasche Bank) sebelum pergi keluar negeri. Saya bisa longgarkan kehidupan saya,
dijumpai keluarga saya yang masih hidup dan cari kuburan ibu dan bapa yang keduanya
meninggal di waktu saya bertualang. Tetapi tentu susah, mungkin mustahil buat saya melalui
pagar Besi Dai Nippon berkeliling rumah mereka. Seandainya bisa, tentulah "sarang’’ saya tak
akan aman lagi …………..
Begitulah iklim, suasana politik ketika saya mulai melahirkan "Madilog’’ di atas kertas.
Saya berada di tengah-tengah rakyat Jelata Indonesia, dekat keluarga dan para sahabat. Tetapi
keadaan dan paham saya memaksa saya tinggal sendiri di tengah-tengah masyarakat yang
sering menyebut-nyebut nama, tetapi tak mengenal rupa saya.
Terbitlah mulanya pertanyaan dalam diri saya; buku manakah yang pertama mesti ditulis
yang paling cocok dengan keadaan diri dan luar diri saya.
Ada tiga buku yang sudah bertahun-tahun saya kandung dalam fikiran, tetapi belum bisa
dilahirkan.
Undang kaum Proletar berpikir, yang sekarang 1. saya namai Madilog.
Federasi Aslia ialah potongan dari Asia-Australia, yakni Federasi dari segala Negara pada
jembatan antara Asia dan Australia dengan kepalanya di Asia dan Australia.
2.
Beberapa pengalaman saya yang boleh menjadi pengetahuan dan nasehat buat mereka
yang suka menerima.
3.
Dalam keadaan biasa, ketiganya boleh dicetak pada satu waktu, yaitu berdikit-dikit. Karena
memang isinya sudang dikandung, Cuma belum diatur sebab waktu dan tempat selamanya ini
tak mengijinkan buat melahirkan.
Dalam hal menghasilkan buah fikiran, kita juga berjumpa dengan soal-soal seperti yang
dijumpai kalau orang menghasilkan barang dagangan. Orang tidak saja mesti memikirkan
perkara belanja (ongkos) buat menghasilkan, tetapi juga perkara permintaan orang ramai
(demand). Ongkos boleh saya cari. Di Tiongkok saya mempunyai pencaharian sendiri. Ketika
kapal terbang Jepang sampai di Amoy penghabisan bulan Agustus 1937, saya mesti
tinggalkan "School of Foreign Languages’’ yang saya dirikan sendiri, yang pesat majunya itu.
Saya mesti pindah ke Selatan, terutama sebab semua murid saya lari dan penduduk Amoy
cerai-berai.
Di Singapura dalam masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa (sudah tentu
di luar pengetahuan Inggris yang asik mencium jejak saya), saya beruntung bisa memanjat dari
sekolah rendah sampai kepala sekolah menengah tinggi yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu
Nanyang Chinese Normal School (NCNS). Disini saya menyamar sebagai Tan Ho Seng jadi
guru bahasa Inggris, sampai sekolahnya ditutup ketika Jepang masuk. Jadi kalau perkara
ongkos saja saya dapat mencetak buku-buku yang perlu. Pendapatan (uang) saya sebagai guru
inggris siang dan malam lebih dari cukup buat diri sendiri.
Tetapi perkara pembagian ada lain hal. Ini rapat bergantung pada kekuatan di luar diri saya.
Walaupun dari tahun 1925-1935 otak saya seolah-olah lumpuh, karena kesehatan sangat
terganggu, tetapi karena permintaan ramai ada keras, saya, dalam kesehatan dan keamanan
hidup amat terganggu dan terpaksa saja lari kesana-sini, bisa juga mencetakkan "Naar de
Republiek Indonesia’’, "Massa Aksi’’ dan "Semangat Muda’’. Semuanya perlu buat nasehat para pergerakan di Indonesia.
Sukarnya perhubungan dan jauh tempat saya, maka sedikit sekali buku-buku itu sampai di
tangan yang mempertanggung jawabkan di Indonesia. Barangkali 99 % dari semua buku
tersebut masih cerai berai atau lapuk di luar Indonesia. Tetapi di mana sampai, hasilnya ada
juga menyenangkan.
Demikianlah sesudah saya sendiri ditangkap di Hongkong pada penghabisan tahun 1932 –
inilah yang ke-3 kali – dan semua teman seperjuangan ditangkap di Singapura dan
di-Digulkan (diasingkan – catatat editor) maka perhubungan saya dengan sahabat dan teman
seperjuangan di semua tempat sama sekali terputus. Beberapa kali saya coba mengadakan
perhubungan dengan Rakyat Indonesia dari Singapura, tetapi semuanya itu gagal. Di
Singapura dari tahun 1937 sampai 1942 saya saksikan dan sedihi bagaimana besarnya
kesukaran yang dihadapai oleh Rakyat dan proletar dalam hal mendirikan susunan politik,
terlebih-lebih pula dalam hal mengatur susunan tersembunyi. Jauh terbelakangnya Indonesia
dalam hal mengatur susunan tersembunyi dari Tiongkok umpamanya.
Saya percaya permintaan kepada buku-buku ada cukup keras serta nafsu dan keberanian
buat mencari atau membagikan buku-buku terlarang cukup besar, tetapi Rakyat Indonesia
belum lagi sanggup mengatasi tamparan reaksi Belanda. Percumalah kalau buku itu dicetak,
walaupun semua alat pencetak dan ongkos bisa didapat. Berhubung dengan itu terpaksalah
saya mengundurkan maksud saya, bertahun-tahun sampai sekarang.
Banyak Proletar mesin (baca buruh industri – catatan editor) dan tanah (baca buruh
pertanian – catatan editor) di Indonesia dan kekuatannya yang tersembunyi memang sudah
cukup kuat buat merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda. Tetapi didikannya masih
sangat tipis dan tiada cocok dengan keperluan dan kewajiban klasnya di hari depan. Mereka
kekurangan pandangan dunia (Weltanschauung). Kekurangan Filsafat. Mereka masih tebal
diselimuti ilmu buat akhirat dan tahyul campur aduk. Mereka tiada sadar akan kekuasaan
klasnya. Belum insyaf sendiri, bahwa tak dengan pertolongan proletar mesin, semuanya
percobaan buat merebut dan membentuk Indonesia merdeka adalah perbuatan sia-sia belaka.
Dua puluh tahun dulu saya sudah yakin akan kekuatan kaum proletar yang tersembunyi itu.
Kini tiada kurang malah lebih yakin dari itu.
Filsafat kaum proletar memang sudah ada, yaitu di barat. Tetapi dengan menyalin semua
buku dialektis-materialisme dan menyorongkan buku-buku itu pada proletar Indonesia kita
tiada akan dapat hasil yang menyenangkan. Saya pikir otak proletar mesin Indoensia tak bisa
mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Indonesia dalam hal iklim,
sejarah, keadaan jiwa dan idamannya.
Proletar Indonesia mesti setidaknya dalam permulaan ini, mempunyai pembacaan yang
berhubungan dengan pahamnya sekarang, pembacaan yang kelak bisa menjadi jembatan
kepada filsafatnya Proletar Barat.
Saya percaya ada otak di Indonesia sekarang yang lebih terlatih dari saya dan pena yang
lebih tajam dari pena yang berkarat, karena tiada dipakai lebih dari 10 tahun belakangan ini.
Akhirnya ada ahli bahasa Indonesia yang bisa lebih tangkas merebut jiwa dan semangat
Indonesia dari bahasa saya yang terpendam di luar negeri dalam lebih dari setengah umur
saya.
Tetapi karena otak, pena dan bahasa semacam itu saya belum lihat keluarnya, maka
terpaksalah saya mempelopori. Tentulah saya berharap akan hati lapang dan sikap menolong
memperbaiki dari pihak umum, kalau berjumpa dengan kesalahan.
---------------------------------------------------------

PERPUSTAKAAN
Kita masih ingat berapa sindiran dihadapkan pada almarhum Leon Trotsky, karena ia
membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma Ata. Saya masih
belum lupa akan beberapa tulisan yang berhubungan dengan peti-peti buku yang mengiringi
Drs. Mohammad Hatta ke tempat pembuangannya. Sesungguhnya saya maklumi sikap kedua
pemimpin tersebut dan sebetulnya saya banyak menyesal karena tiada bisa berbuat begitu dan
selalu gagal kalau mencoba berbuat begitu.
Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun
dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung,
kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli
pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan
jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan
yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam
propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan
batu tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan
ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti umumnya.
Ketka saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret
1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu peti besar. Disini ada
buku-buku agama, Qur’an dan Kitab Suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme,
perkara ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis, atau komunistis, perkara politik juga dari
liberalisme sampai ke komunisme, buku-buku riwayat Dunia dan buku sekolah dari ilmu
berhitung sampai ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa
saya tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui
Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme. Dari beberapa catatan nama buku di atas,
orang bisa tahu kemana condongnya pikiran saya.
Di Moskow saya cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme. Dalam waktu 8 bulan
disini saya sedikit sekali membaca, tetapi banyak mempelajari pelaksanaan komunisme dalam
semua hal dengan memperhatikan segala perbuatan pemerintah komunis Rusia baik politik
ataupun ekonomi, didikan ataupun kebudayaan dan dengan percakapan serta pergaulan
dengan bermacam-macam golongan. Disini saya juga banyak menulis perkara Indonesia buat
laporan Komintern. Ketika saya meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku
apapun, sedang buku peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas meninggalkan Rusia keras
sekali.
Tetapi sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya dengan giat mengumpulkan
buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science
(sajans), buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme. Mengunjungi toko buku
adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru,
lebih-lebih yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka
yang tiada berdaya apa-apa. Tetapi tiada banyak bahagia yang saya peroleh. Sebab
kelumpuhan otak seperti saya sebutkan di atas, maka tak lebih dari satu jam sehari saya bisa
membaca buku bertimbun-timbun itu. Saya terpaksa menunggu sampai kesehatan
membenarkan, tetapi rupanya pustaka tak bisa mengawani saya.
Pada perang Jepang – Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun 1937, tiga hari lamanya
saya terkepung di belakang jalan bernama "North Su Chuan Road’’, tepat di tempat
peperangan pertama meletus. Dari North Su Chuan Road tadi Jepang menembak kearah Pao
Shan Road dan tentara Tiongkok dari sebaliknya. Di antaranya di kampung Wang Pan Cho
saya dengan pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin
kepada kampung tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman
dalam waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya mesti
tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan
lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya "lalilong’’ alias
tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama
itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan
dikurangi.
Sampai saya ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, saya sudah punya satu peti pula.
Sesudah dua bulan di dalam penjara, saya dilepaskan buat dipermainkan seperti kucing
mempermainkan tikus. Maka dekat Amoy, saya bisa melepaskan diri. Tetapi dengan
melepaskan pustaka saya sendiri. Pustaka saya, tanpa saya, berlayar menuju ke Foechow. Saya
terlepas dari bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka. Saya berhasil menyamar masuk ke
Amoy dan terus ke daerah dalam Hok Kian tiga-empat-tahun lamanya, terputus dengan dunia
luar sama sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh sama sekali.
Pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga sekarang,
juga sekarang terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua
tiga buku-buku peringatan yang penting sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri,
ialah: catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke
laut dekat Merqui, sebelum sampai di Ranggoon.
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita sekali. Tetapi
putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa buku-buku saya yang
masih ada dalam peti seperti "English Dictionary’’ dengan teliti sekali, malah kulitnya
diselidiki betul-betul. Kantongpun tak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut,
disanalah terletak beberapa buku peringatan cukup dengan rancangan, catatan dan suggesti
atau nasehat buat pekerjaan sekarang.
Dalam permulaan 3 tahun di Singapura saya amat miskin sekali. Gaji yang diperoleh
sedikit sekali - enam setengah rupiah sebulan. Dengan tak ada diploma-Singapura, tak lahir
di Singapura, memakai pasport Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa
membaca huruf Tionghoa susah mendapat kerja yang berhasil besar pada perusahaan
Tionghoa. Susah pula mendapat izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur, sedangkan
masyarakat Indonesia tak berarti sama sekali di bekas kota "Tumasek’’ (nama Singapura
sekarang di Jaman Majapahit) Ini uang buat makan secukupnya saja, pakaian jangan disebut
lagi. Masuk jadi anggota pustaka (Library) tiada mampu. Disini pengetahuan saya walaupun
kesehatan sempurna kembali, cuma bisa ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan
mata dan telinga sendiri. Tetapi lama kelamaan atas usaha sendiri saya mendapatkan
pekerjaan dan hasil pekerjaan yang baik sekali.
Seperti saya sebut diatas, akhirnya saya dapat bekerja pada sekolah Normal Tinggi
(Nanyang Chinese Normal School) sebagai guru Inggris dan belakangan juga sebagai guru
Matematika dalam dan luar sekolah tersebut. Saya mulai kumpulkan catatan buat buku-buku
yang mau saya tulis sekarang. Rafles Library memberi kesempatan dan minat yang besar.
Buku yang paling belakang saya pinjam ialah Capital, Karl Marx. Tetapi armada udara Jepang
tak berhenti datangnya hari-hari. Sebentar-sebentar saya mesti lari sembunyi. Cuma dalam
lubang perlindungan saya bisa baca Capital, buat mengumpulkan bahan yang sebenarnya saya
ulangi membacanya. Sampai 15 Febuari 1942 saya masih pegang Capital itu dengan beberapa
catatan. Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua penduduk laki-perempuan, tua-muda
dihalaukan dengan pedang terhunus kiri-kanan, dengan ancaman tak putus-putusnya menuju
ke satu lapangan. Disini ratusan penduduk Tionghoa ditahan satu hari buat diperiksa. Disini
saya juga turut menghadapi senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa maksud
tentara jepang yang bermula ialah memusnahkan semua penduduk Tionghoa yang ada di
Singapura. Tetapi dibatalkan oleh pihak Jepang yang masih mempunyai pikiran sehat dan rasa
tanggung jawab terhadap dunia lainnya.
Sebelum kami dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum bahwa tak ada pelosok
rumah atau halaman rumah yang mesti kami tinggalkan selama pemeriksaan diri dijalankan,
yang kelak akan dilupakan oleh Kempei Jepang. Sepeninggalan kami rumah tempat saya
tinggal diperiksa habis-habisan. Barang berharga habis di copet.
Sebelum meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan saya beruntung mendapat
kesempatan menyembunyikan buku Capital ke dalam air. Di "upper Seranggoon Road’’ di
muka rumah tuan Tan Kin Tjan, disanalah sekarang di dalam tebat (empang) bersemayam
buku Capital terjemahan "Das Kapital’’ ke bahasa Inggris, pinjaman saya, Tan Ho Seng, dari
Raffles Library di Singapura.
Sesudah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba dengan perahu menyebrang
ke Sumatra, tetapi gagal karena angin sakal. Saya terpaksa mengambil jalan Penang-Medan.
Hampir dua bulan saya di jalan antara Singapura dengan Jakarta, melalui semenanjung
Malaka, Penang, selat Malaka (perahu layar) Medan, Padang, Lampung, selat Sunda (perahu)
dan Jakarta. Di jalan saya bisa beli buku karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia,
yang mesti saya sembunyikan pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.
Inilah pustaka saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat membeli sekarang, tetapi banyak
keberatan. Pertama uang, kemudian banyak buku mesti datang dari luar negeri, dan ketiga dari
pada dicatat dari satu atau dua buku lebih baik jangan dicatat atau catat dari luar buku ialah
ingatan sama sekali, seperti maksud saya tentang Madilog ini. Biasanya buku-buku reference
yang dipetik, atau pustaka itu ditulis di bawah pendahuluan. Biasanya diberi daftar pustaka
yang dibaca oleh pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana perpustakaan tak bisa dibawa,
saya minta maaf untuk menulis pasal terkhusus tentang perpustakaan itu.
Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini semata-mata
terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan
berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau
masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya
sendiri.
Ada lagi! Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat dengan persis dan cukup,
perkataan, kalimat, halaman dan nama bukunya, pikiran orang lain yang akan dikemukakan,
saya pikir tiada jauh berbeda maknanya dari pada yang akan saya kemukakan.
Al Gazali pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada keliru pada satu ketika kena
samun. Penyamun juga rampas semua bukunya. Sesudah itu Al Gazali memasukan semua isi
bukunya ke dalam otaknya dengan mengapalkannya. Bahagia (gunanya) mengapal itu buat Al
Gazali, sekarang sudah terang sekali kepada kita.
Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam bahasa ibu, melainkan
dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya
bantah kebisaan saya itu. Pada ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan mengapal itu tiada
menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya
ingat bukan lagi arti sesuatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku, dimana kalimat
tadi tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa diapalkan lagi.
Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya
ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak.
Apalkan, ya, apalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul, saya apalkan
kependekan "intinya’’ saja. Pada masa itulah di sekolah Raja Bukit Tinggi, saya sudah lama
membikin dan menyimpan dalam otak, perkataan yang tidak berarti buat orang lain, tetapi
penuh dengan pengetahuan buat saya.
Buat keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan perkataan ini, saya namakan
"jembatan kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun tidak sama dengan ezelbruggece yang terkenal.
Buat menjawab pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya
pakai jembatan keledai saya : "AFIAGUMMI’’.
A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament. Artinya ini
kekuatan udara kekuatan darat, dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan
A huruf pertama itu bisa membawa "jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah susunan
huruf pada perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara). Sesudah
dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus diuji perkara yang
kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf "F’’. keuangan dsb.
Demikianlah "jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta seperempat
atau setengah brosure kalau dituliskan. Dalam ekonomi, politik, muslihat perang, science dan
sebagainya saya ada menyimpan "jembatan keledai. Kalau buku penting yang saya baca ada
dalam bahasa Inggris, maka "jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan atau
sebagian perkataan inggris.
Kalau tidak beratus, niscaya berpuluh ada "jembatan keledai’’ di dalam kepala saya.
"ONIFMAABYCI AIUDGALOG’’ yang berbunyi bahasa Sanskreta, bukanlah bahasa
Sanskreta atau bahasa Hindu, melainkan teori ekonomi yang bertentangan dengan teori
ekonomi Mahatma Gandhi.
Kalau badan saya ada sehat, maka perkataan guru itu biasanya mudah saya tangkap. Isinya
saya ternakkan dan masukkan ke dalam "jembatan keledai’’. Kalau kertas atau buku
peringatan saya umpamanya dibeslah (disita – catatan editor) di Manila atau Hongkong oleh
polisi, maka hal itu tiada berarti dia tahu membaca perkataan itu, malah sudah pernah
menjadikan mereka pusing kepala berhari-hari, mengira yang tidak-tidak.
Dalam buku yang akan ditulis di belakang hari (kalau umur panjang!) saya kelak bisa
meneruskan cerita "jembatan keledai’’ saya ini. Saya angap "jembatan keledai’’ itu penting
sekali buat pelajar di sekolah dan paling penting buat seseorang pemberontak
pelarian-pelarian. Bukankah seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya,
seringan-ringannya? Ia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun
pakaian. Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai tolan. Dia
haruslah bersikap dan bertindak sebagai "marsuse’’ (angkatan militer siap gempur – catatan
editor) yang setiap detik siap sedia buat berangkat, meninggalkan apa yang bisa mengikat
dirinya lahir dan batin.
Ringkasnya walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya terlantar cerai-berai
dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia atau dalam tebat di muka rumah
tuan Tan King Cang di Upper Seranggoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya
kehilangan "isinya’’ buku-buku yang berarti.
Tetapi barang yang lama itu tentu boleh jadi rusak. Catatan atau makna yang saya
kemukakan dari pikiran orang lain boleh jadi tiada cukup atau bertukar arti. Dalam hal ini
sekali lagi saya minta maaf dan simpati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar