Tan Malaka (1943)
SEJARAH MADILOG
Ditulis di Rawajati dekat pabrik
sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai
dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampong Indonesia
yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog,
ialah lebih kurang 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943
(berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.
Buku yang lain ialah Gabungan
Aslia sudah pula setengah di tulis. Tetapi terpaksa ditunda. Sebab yang pertama
karena kehabisan uang. Kedua sebab sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu,
sudah 2 kali datang memeriksa dan menggeledah rumah lebih tepat lagi “pondok’’
tempat saya tinggal. Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil
dan ditaruh di tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka
terlindung ia dari mata polisi. Terpeliharalah pula kedua kitab itu dan
pengarangnya sendiri seterusnya dari mata dan tongkat kempei Jepang.
Lantaran hawa kediaman saya itu
sudah agak panas dan bahaya kelaparan sudah mengintip, maka terpaksalah saya
memberhentikan pekerjaan saya meneruskan menulis Gabungan Aslia. Saya
bertualang di daerah Banten mencari nafkah sambil memperlindungkan diri pula.
Akhirnya saya dapat pekerjaan
tetap di Tambang Arang, Bayah. Disinilah saya mendapat pekerjaan sedikit lebih
tinggi dari romusha biasa, (maklumlah orang tak punya diploma dan surat
keterangan!) sampai menjadi pengurus semua romusha dan penduduk kota Bayah dan
sekitarnya dalam hal makanan, kesehatan, pulang-pergi dan sakit matinya romusha
ribuan orang, dengan perantaraan kantor urusan prajurit pekerja.
Sebagai ketua Badan Pembantu
Pembelaan (BPP) dan Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3), saya akhirnya sampai
dipilih menjadi wakil daerah Banten ke kongres Angkatan Muda yang dijanjikan di
Jakarta, tetapi tak jadi itu (bulan Juni 1945). Disinilah saya berjumpa dengan
pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dll. yang sekarang mengambil bagian
dalam pergerakan Persatuan Perjuangan. Juga dengan pemuda lainnya umpamanya
seorang jurnalis yang amat dikenal di sekitar Bayah ketika itu, tak lebih dan
tak kurang dari Bang Bejat, alias Anwar Tjokroaminoto dan saudaranya. Resan
minyak ke minyak, resan air ke air, kata pepatah.
Demikianlah pengarang ini yang
pada masa Jepang itu memperkenalkan dirinya dengannama ILJAS
HUSSEIN, dengan jalan memutar sampai juga ke golongan yang dicari yang mulai
mengambil bagian besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17
Agustus 1945, ialah golongan pemuda. Pekerjaan revolusioner di samping pemuda
itu sampai
sekarang terus berlaku, yakni Persatuan Perjuangan yang sudah
mulai menulis sejarah. Atas permintaan pemuda pulalah Madilog sekarang akan
disebarkan di antara mereka yang rasanya sanggup menerimanya.
Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan,
di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya
di atas pondok saya. Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi
mengantarkan romusha ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan
proklamasi Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di
Surabaya bersama pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka
palsu……………… bahkan hampir saja Madilog hilang.
Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog
sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka
yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta
akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.
TAN MALAKA
Lembah Bengawan Solo, 15 Maret 1946.
--------------------------------------------------------------------------------------
PENDAHULUAN
IKLIM
Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya
menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari
tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942.
Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini,
menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362.
Semua
itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal berumur
sendiri.
Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad itu.
11
Juli 1942 petang, saya sampai di Jakarta. Saya meninggalkan Telokbetong pada 7
Juli.
Rupanya
sama dengan tanggal Ir Sukarno meninggalkan Palembang. Tetapi ada perbedaan.
Kapal
yang saya tumpangi cuma perahu layar tak lebih dari 4 ton, tua dan bocor
walaupun
namanya
merdu bunyinya "Sri Renyet’’. Perahu layar ini sama sekali menjadi
permainan
angin
saja. Kalau angin dari belakang majulah dia. Kalau dari muka berlabuhlah dia,
walaupun
dekat karang, kalau dia tak mau dibalikkan kembali atau ditenggelamkan. Kapal
Ir.
Sukarno
kabarnya ditarik oleh kapal motor Jepang. Sebab itu walaupun sama waktu
berjalan
dan
saya dua kali lebih dekat dari Ir. Sukarno ke tempat yang dituju, saya dua kali
selama dia
di
jalan baru sampai.
Ada
lagi perbedaan. Walaupun pembuangan saya dua kali pula selama pembuangan Ir.
Sukarno
yang 10 tahun itu dan saya sebetulnya bukan dikembalikan dengan resmi,
melainkan
kembali
sendiri saya belum boleh bekerja dengan terbuka. Sedangkan Ir. Sukarno sudah
"diberi’’
izin buat membikin "propaganda’’. Dalam "Sinar Matahari’’ diterbitkan
oleh Kepala
Bagian
Umum dari barisan propaganda Dai Nippon Palembang dalam No. 49, Kayobi atau
Selasa,
23-6-2602, dalam artikel "Di Barisan Depan’’ tuan Sukarno menganjurkan
pada
Rakyat
Indonesia bekerja bersama-sama sekuat-kuat tenaga dengan Dai Nippon. Sebab,
hanya
dengan
bekerja bersama-sama dengan Nippon, kita akan dapat mencapai cita-cita kita
Indonesia
Raya dalam lingkungan Asia Raya’’. Senin 13 Juli (jangan takut sama angka 13),
Ir.
Sukarno
berjabatan tangan dengan Drs. Muhammad Hatta pemimpin Nasionalis Indonesia
yang
setingkat tingginya dengan Ir. Sukarno sama-sama cerdik pandai, terpelajar,
berani,
tahan
dan rela menderita kesukaran hidup, yakni sampai Jepang masuk.
Disamping
gambar tertulis : “Ir. Sukarno dan Drs. Muhammad Hatta berjabatan tangansebagai
pengakuan bekerja bersama-sama guna masyarakat.”
Dengan hampa
tangan saya cari tulisan kedua pemimpin tadi yang bersangkutan dengan
persoalan. 1.
bagaimana tata negara Asia Raya, 2. Bagaimana kedudukan Indonesia Raya
dalam Asia
Raya cetakan militer Jepang itu, 3. Bagaimana tata negara Indonesia Merdeka
sendiri, 4,
5…………ad.infinitum, yakni tidak berhenti seterusnya …………Kesimpulan:
kedua pemimpin
nasionalis sudah mulai menjalankan cita-citanya, ialah di bawah ujung
pedang
Samurai.
Akhirnya
perbedaan yang ketiga. Sedangkan kedua pemimpin tersebut disambut dengan
kegirangan
oleh pengikutnya secara resmi, seperti "bever’’ (berang-berang – catatan
editor)
yang terkenal
tinggal di lubang yang dibikinnya di bawah air itu, saya masuk mesti memakai
segala anggota
keawasan, yang memang sudah terlatih dalam pelarian yang lebih dari 20
tahun lamanya.
Apabila kelak sudah pasti bahwa golongan (klas) yang saya pertahankan
selama ini
boleh menjalankan haknya, maka barulah kelak saya akan meninggalkan "sarang’’.
Tetapi sarang
sekarang memang lebih baik tempatnya dari yang sudah-sudah. Letaknya
tidak lagi di
Tiongkok atau di tepi tapal batas Jajahan Belanda, walaupun di Indonesia juga
seperti 4
tahun yang lalu, tetapi di tengah-tengah Rakyat dan kaum yang sebentuk badan
dan
mukanya dengan
saya dan yang lekas saya bisa mengerti perkataan dan tingkah lakunya.
Tetangga saya
tiada lagi cerewet mencampuri, siapa saya, dan dari mana saya datang sebab
bentuk badan,
muka dan bahasa semuanya sama………..
Dari sini saya
bisa mempelajari sikap dan perbuatan tentara Jepang, serta sikap dan
perbuatan
pemimpin Indonesia Raya dalam lingkungan Asia raya. Tetapi saya tiada boleh
mengharapkan
lebih dari mempelajarinya saja.
Saya kenal
Rakyat Jelata Jepang di masa damai. Mereka tahu membedakan yang buruk
dengan yang
baik tentang hal yang datang dari barat. Mereka bersifat berani dan berlaku
ramah tamah
terhadap bangsa lain. Tetapi tentara Jepang yang sekarang mengawasi musuh
dengan pedang
terhunus, dan sering hilang kesabaran terhadap kaum pekerja bangsa
Indonesia,
tiadalah satu organisasi yang patut diajak berembuk tentang politik yang
berdasarkan
ke-proletar-an.
Ketua Kota
Jakarta (H. Dachlan Abdullah) ini duduk sebangku dengan saya, ketika belajar
di Indonesia
dan sering sekamar tidur dan makan di Indonesia dan Eropa. Drs Mohammad
Hatta bukan
asing buat saya. Saya belum bertemu muka dengan Ir. Sukarno. Tetapi perkataan
simpati
terhadap saya dulu banyak saya baca. Ketiganya mereka ada disini, dekat dan
kalau
saya menemui
mereka, saya bisa ambil kembali uang saya yang dulu tersimpan dalam Bank
Belanda
(Javasche Bank) sebelum pergi keluar negeri. Saya bisa longgarkan kehidupan
saya,
dijumpai
keluarga saya yang masih hidup dan cari kuburan ibu dan bapa yang keduanya
meninggal di
waktu saya bertualang. Tetapi tentu susah, mungkin mustahil buat saya melalui
pagar Besi Dai
Nippon berkeliling rumah mereka. Seandainya bisa, tentulah "sarang’’ saya
tak
akan aman lagi
…………..
Begitulah
iklim, suasana politik ketika saya mulai melahirkan "Madilog’’ di atas
kertas.
Saya berada di
tengah-tengah rakyat Jelata Indonesia, dekat keluarga dan para sahabat. Tetapi
keadaan dan
paham saya memaksa saya tinggal sendiri di tengah-tengah masyarakat yang
sering
menyebut-nyebut nama, tetapi tak mengenal rupa saya.
Terbitlah
mulanya pertanyaan dalam diri saya; buku manakah yang pertama mesti ditulis
yang paling
cocok dengan keadaan diri dan luar diri saya.
Ada tiga buku
yang sudah bertahun-tahun saya kandung dalam fikiran, tetapi belum bisa
dilahirkan.
Undang kaum
Proletar berpikir, yang sekarang 1. saya namai Madilog.
Federasi Aslia
ialah potongan dari Asia-Australia, yakni Federasi dari segala Negara pada
jembatan
antara Asia dan Australia dengan kepalanya di Asia dan Australia.
2.
Beberapa
pengalaman saya yang boleh menjadi pengetahuan dan nasehat buat mereka
yang suka
menerima.
3.
Dalam keadaan
biasa, ketiganya boleh dicetak pada satu waktu, yaitu berdikit-dikit. Karena
memang isinya
sudang dikandung, Cuma belum diatur sebab waktu dan tempat selamanya ini
tak
mengijinkan buat melahirkan.
Dalam hal
menghasilkan buah fikiran, kita juga berjumpa dengan soal-soal seperti yang
dijumpai kalau
orang menghasilkan barang dagangan. Orang tidak saja mesti memikirkan
perkara
belanja (ongkos) buat menghasilkan, tetapi juga perkara permintaan orang ramai
(demand).
Ongkos boleh saya cari. Di Tiongkok saya mempunyai pencaharian sendiri. Ketika
kapal terbang
Jepang sampai di Amoy penghabisan bulan Agustus 1937, saya mesti
tinggalkan
"School of Foreign Languages’’ yang saya dirikan sendiri, yang pesat
majunya itu.
Saya mesti
pindah ke Selatan, terutama sebab semua murid saya lari dan penduduk Amoy
cerai-berai.
Di Singapura
dalam masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa (sudah tentu
di luar
pengetahuan Inggris yang asik mencium jejak saya), saya beruntung bisa memanjat
dari
sekolah rendah
sampai kepala sekolah menengah tinggi yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu
Nanyang
Chinese Normal School (NCNS). Disini saya menyamar sebagai Tan Ho Seng jadi
guru bahasa
Inggris, sampai sekolahnya ditutup ketika Jepang masuk. Jadi kalau perkara
ongkos saja
saya dapat mencetak buku-buku yang perlu. Pendapatan (uang) saya sebagai guru
inggris siang
dan malam lebih dari cukup buat diri sendiri.
Tetapi perkara
pembagian ada lain hal. Ini rapat bergantung pada kekuatan di luar diri saya.
Walaupun dari
tahun 1925-1935 otak saya seolah-olah lumpuh, karena kesehatan sangat
terganggu,
tetapi karena permintaan ramai ada keras, saya, dalam kesehatan dan keamanan
hidup amat
terganggu dan terpaksa saja lari kesana-sini, bisa juga mencetakkan "Naar
de
Republiek
Indonesia’’, "Massa Aksi’’ dan "Semangat Muda’’. Semuanya perlu buat
nasehat para pergerakan di Indonesia.
Sukarnya perhubungan dan jauh tempat saya, maka sedikit sekali
buku-buku itu sampai di
tangan yang
mempertanggung jawabkan di Indonesia. Barangkali 99 % dari semua buku
tersebut masih
cerai berai atau lapuk di luar Indonesia. Tetapi di mana sampai, hasilnya ada
juga
menyenangkan.
Demikianlah
sesudah saya sendiri ditangkap di Hongkong pada penghabisan tahun 1932 –
inilah yang
ke-3 kali – dan semua teman seperjuangan ditangkap di Singapura dan
di-Digulkan
(diasingkan – catatat editor) maka perhubungan saya dengan sahabat dan teman
seperjuangan
di semua tempat sama sekali terputus. Beberapa kali saya coba mengadakan
perhubungan
dengan Rakyat Indonesia dari Singapura, tetapi semuanya itu gagal. Di
Singapura dari
tahun 1937 sampai 1942 saya saksikan dan sedihi bagaimana besarnya
kesukaran yang
dihadapai oleh Rakyat dan proletar dalam hal mendirikan susunan politik,
terlebih-lebih
pula dalam hal mengatur susunan tersembunyi. Jauh terbelakangnya Indonesia
dalam hal
mengatur susunan tersembunyi dari Tiongkok umpamanya.
Saya percaya
permintaan kepada buku-buku ada cukup keras serta nafsu dan keberanian
buat mencari
atau membagikan buku-buku terlarang cukup besar, tetapi Rakyat Indonesia
belum lagi
sanggup mengatasi tamparan reaksi Belanda. Percumalah kalau buku itu dicetak,
walaupun semua
alat pencetak dan ongkos bisa didapat. Berhubung dengan itu terpaksalah
saya
mengundurkan maksud saya, bertahun-tahun sampai sekarang.
Banyak
Proletar mesin (baca buruh industri – catatan editor) dan tanah (baca buruh
pertanian –
catatan editor) di Indonesia dan kekuatannya yang tersembunyi memang sudah
cukup kuat
buat merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda. Tetapi didikannya masih
sangat tipis
dan tiada cocok dengan keperluan dan kewajiban klasnya di hari depan. Mereka
kekurangan
pandangan dunia (Weltanschauung). Kekurangan Filsafat. Mereka masih tebal
diselimuti
ilmu buat akhirat dan tahyul campur aduk. Mereka tiada sadar akan kekuasaan
klasnya. Belum
insyaf sendiri, bahwa tak dengan pertolongan proletar mesin, semuanya
percobaan buat
merebut dan membentuk Indonesia merdeka adalah perbuatan sia-sia belaka.
Dua puluh
tahun dulu saya sudah yakin akan kekuatan kaum proletar yang tersembunyi itu.
Kini tiada
kurang malah lebih yakin dari itu.
Filsafat kaum
proletar memang sudah ada, yaitu di barat. Tetapi dengan menyalin semua
buku
dialektis-materialisme dan menyorongkan buku-buku itu pada proletar Indonesia
kita
tiada akan
dapat hasil yang menyenangkan. Saya pikir otak proletar mesin Indoensia tak
bisa
mencernakan
paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Indonesia dalam hal iklim,
sejarah,
keadaan jiwa dan idamannya.
Proletar
Indonesia mesti setidaknya dalam permulaan ini, mempunyai pembacaan yang
berhubungan
dengan pahamnya sekarang, pembacaan yang kelak bisa menjadi jembatan
kepada
filsafatnya Proletar Barat.
Saya percaya
ada otak di Indonesia sekarang yang lebih terlatih dari saya dan pena yang
lebih tajam
dari pena yang berkarat, karena tiada dipakai lebih dari 10 tahun belakangan
ini.
Akhirnya ada
ahli bahasa Indonesia yang bisa lebih tangkas merebut jiwa dan semangat
Indonesia dari
bahasa saya yang terpendam di luar negeri dalam lebih dari setengah umur
saya.
Tetapi karena
otak, pena dan bahasa semacam itu saya belum lihat keluarnya, maka
terpaksalah
saya mempelopori. Tentulah saya berharap akan hati lapang dan sikap menolong
memperbaiki
dari pihak umum, kalau berjumpa dengan kesalahan.
---------------------------------------------------------
PERPUSTAKAAN
Kita masih
ingat berapa sindiran dihadapkan pada almarhum Leon Trotsky, karena ia
membawa buku
berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma Ata. Saya masih
belum lupa
akan beberapa tulisan yang berhubungan dengan peti-peti buku yang mengiringi
Drs. Mohammad
Hatta ke tempat pembuangannya. Sesungguhnya saya maklumi sikap kedua
pemimpin
tersebut dan sebetulnya saya banyak menyesal karena tiada bisa berbuat begitu
dan
selalu gagal
kalau mencoba berbuat begitu.
Bagi seseroang
yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun
dengan mulut,
perlulah pustaka yang cukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung,
kalau alatnya
seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli
pidato, perlu
akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan
jitu bisa
menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan
yang
bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam
propaganda,
maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan
batu tembok
buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan
ini, buku-buku
yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti umumnya.
Ketka saya
menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret
1922, saya cukup
diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu peti besar. Disini ada
buku-buku
agama, Qur’an dan Kitab Suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme,
perkara
ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis, atau komunistis, perkara politik
juga dari
liberalisme
sampai ke komunisme, buku-buku riwayat Dunia dan buku sekolah dari ilmu
berhitung
sampai ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa
saya
tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui
Polandia yang
bermusuhan dengan Komunisme. Dari beberapa catatan nama buku di atas,
orang bisa
tahu kemana condongnya pikiran saya.
Di Moskow saya
cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme. Dalam waktu 8 bulan
disini saya
sedikit sekali membaca, tetapi banyak mempelajari pelaksanaan komunisme dalam
semua hal
dengan memperhatikan segala perbuatan pemerintah komunis Rusia baik politik
ataupun
ekonomi, didikan ataupun kebudayaan dan dengan percakapan serta pergaulan
dengan
bermacam-macam golongan. Disini saya juga banyak menulis perkara Indonesia buat
laporan
Komintern. Ketika saya meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku
apapun, sedang
buku peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas meninggalkan Rusia keras
sekali.
Tetapi sampai
di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya dengan giat mengumpulkan
buku-buku yang
berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science
(sajans),
buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme. Mengunjungi toko buku
adalah
pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru,
lebih-lebih
yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka
yang tiada
berdaya apa-apa. Tetapi tiada banyak bahagia yang saya peroleh. Sebab
kelumpuhan
otak seperti saya sebutkan di atas, maka tak lebih dari satu jam sehari saya
bisa
membaca buku
bertimbun-timbun itu. Saya terpaksa menunggu sampai kesehatan
membenarkan,
tetapi rupanya pustaka tak bisa mengawani saya.
Pada perang
Jepang – Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun 1937, tiga hari lamanya
saya terkepung
di belakang jalan bernama "North Su Chuan Road’’, tepat di tempat
peperangan
pertama meletus. Dari North Su Chuan Road tadi Jepang menembak kearah Pao
Shan Road dan
tentara Tiongkok dari sebaliknya. Di antaranya di kampung Wang Pan Cho
saya dengan
pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin
kepada kampung
tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman
dalam waktu 5
menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya mesti
tinggal.
Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan
lamanya, maka
sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya "lalilong’’
alias
tukang copet
bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama
itu pustaka
bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan
dikurangi.
Sampai saya
ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, saya sudah punya satu peti pula.
Sesudah dua
bulan di dalam penjara, saya dilepaskan buat dipermainkan seperti kucing
mempermainkan
tikus. Maka dekat Amoy, saya bisa melepaskan diri. Tetapi dengan
melepaskan
pustaka saya sendiri. Pustaka saya, tanpa saya, berlayar menuju ke Foechow.
Saya
terlepas dari
bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka. Saya berhasil menyamar masuk ke
Amoy dan terus
ke daerah dalam Hok Kian tiga-empat-tahun lamanya, terputus dengan dunia
luar sama
sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh sama sekali.
Pustaka baru
yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga sekarang,
juga sekarang
terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua
tiga buku-buku
peringatan yang penting sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri,
ialah: catatan
penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke
laut dekat
Merqui, sebelum sampai di Ranggoon.
Putusan
bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita sekali. Tetapi
putusan itu
belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa buku-buku saya yang
masih ada
dalam peti seperti "English Dictionary’’ dengan teliti sekali, malah
kulitnya
diselidiki
betul-betul. Kantongpun tak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut,
disanalah
terletak beberapa buku peringatan cukup dengan rancangan, catatan dan suggesti
atau nasehat
buat pekerjaan sekarang.
Dalam
permulaan 3 tahun di Singapura saya amat miskin sekali. Gaji yang diperoleh
sedikit sekali
- enam setengah rupiah sebulan. Dengan tak ada diploma-Singapura, tak lahir
di Singapura,
memakai pasport Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa
membaca huruf
Tionghoa susah mendapat kerja yang berhasil besar pada perusahaan
Tionghoa.
Susah pula mendapat izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur, sedangkan
masyarakat
Indonesia tak berarti sama sekali di bekas kota "Tumasek’’ (nama Singapura
sekarang di
Jaman Majapahit) Ini uang buat makan secukupnya saja, pakaian jangan disebut
lagi. Masuk
jadi anggota pustaka (Library) tiada mampu. Disini pengetahuan saya walaupun
kesehatan
sempurna kembali, cuma bisa ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan
mata dan
telinga sendiri. Tetapi lama kelamaan atas usaha sendiri saya mendapatkan
pekerjaan dan
hasil pekerjaan yang baik sekali.
Seperti saya
sebut diatas, akhirnya saya dapat bekerja pada sekolah Normal Tinggi
(Nanyang
Chinese Normal School) sebagai guru Inggris dan belakangan juga sebagai guru
Matematika
dalam dan luar sekolah tersebut. Saya mulai kumpulkan catatan buat buku-buku
yang mau saya
tulis sekarang. Rafles Library memberi kesempatan dan minat yang besar.
Buku yang
paling belakang saya pinjam ialah Capital, Karl Marx. Tetapi armada udara
Jepang
tak berhenti
datangnya hari-hari. Sebentar-sebentar saya mesti lari sembunyi. Cuma dalam
lubang
perlindungan saya bisa baca Capital, buat mengumpulkan bahan yang sebenarnya
saya
ulangi
membacanya. Sampai 15 Febuari 1942 saya masih pegang Capital itu dengan
beberapa
catatan.
Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua penduduk laki-perempuan, tua-muda
dihalaukan
dengan pedang terhunus kiri-kanan, dengan ancaman tak putus-putusnya menuju
ke satu
lapangan. Disini ratusan penduduk Tionghoa ditahan satu hari buat diperiksa.
Disini
saya juga
turut menghadapi senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa maksud
tentara jepang
yang bermula ialah memusnahkan semua penduduk Tionghoa yang ada di
Singapura.
Tetapi dibatalkan oleh pihak Jepang yang masih mempunyai pikiran sehat dan rasa
tanggung jawab
terhadap dunia lainnya.
Sebelum kami
dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum bahwa tak ada pelosok
rumah atau
halaman rumah yang mesti kami tinggalkan selama pemeriksaan diri dijalankan,
yang kelak
akan dilupakan oleh Kempei Jepang. Sepeninggalan kami rumah tempat saya
tinggal
diperiksa habis-habisan. Barang berharga habis di copet.
Sebelum
meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan saya beruntung mendapat
kesempatan
menyembunyikan buku Capital ke dalam air. Di "upper Seranggoon Road’’ di
muka rumah
tuan Tan Kin Tjan, disanalah sekarang di dalam tebat (empang) bersemayam
buku Capital
terjemahan "Das Kapital’’ ke bahasa Inggris, pinjaman saya, Tan Ho Seng,
dari
Raffles
Library di Singapura.
Sesudah dua
atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba dengan perahu menyebrang
ke Sumatra,
tetapi gagal karena angin sakal. Saya terpaksa mengambil jalan Penang-Medan.
Hampir dua
bulan saya di jalan antara Singapura dengan Jakarta, melalui semenanjung
Malaka,
Penang, selat Malaka (perahu layar) Medan, Padang, Lampung, selat Sunda
(perahu)
dan Jakarta.
Di jalan saya bisa beli buku karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah
Indonesia,
yang mesti
saya sembunyikan pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.
Inilah pustaka
saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat membeli sekarang, tetapi banyak
keberatan.
Pertama uang, kemudian banyak buku mesti datang dari luar negeri, dan ketiga
dari
pada dicatat
dari satu atau dua buku lebih baik jangan dicatat atau catat dari luar buku
ialah
ingatan sama
sekali, seperti maksud saya tentang Madilog ini. Biasanya buku-buku reference
yang dipetik,
atau pustaka itu ditulis di bawah pendahuluan. Biasanya diberi daftar pustaka
yang dibaca
oleh pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana perpustakaan tak bisa dibawa,
saya minta
maaf untuk menulis pasal terkhusus tentang perpustakaan itu.
Dengan ini
saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini semata-mata
terbit dari
otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan
berapapun juga
adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau
masyarakat
lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya
sendiri.
Ada lagi!
Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat dengan persis dan cukup,
perkataan,
kalimat, halaman dan nama bukunya, pikiran orang lain yang akan dikemukakan,
saya pikir
tiada jauh berbeda maknanya dari pada yang akan saya kemukakan.
Al Gazali
pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada keliru pada satu ketika kena
samun.
Penyamun juga rampas semua bukunya. Sesudah itu Al Gazali memasukan semua isi
bukunya ke
dalam otaknya dengan mengapalkannya. Bahagia (gunanya) mengapal itu buat Al
Gazali,
sekarang sudah terang sekali kepada kita.
Pada masa
kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam bahasa ibu, melainkan
dalam bahasa
Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya
bantah kebisaan
saya itu. Pada ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan mengapal itu tiada
menambah
kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya
ingat bukan
lagi arti sesuatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku, dimana kalimat
tadi tertulis.
Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa diapalkan
lagi.
Tetapi saya
juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya
ambil jalan
tengah: padu yang baik dari kedua pihak.
Apalkan, ya,
apalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul, saya apalkan
kependekan
"intinya’’ saja. Pada masa itulah di sekolah Raja Bukit Tinggi, saya sudah
lama
membikin dan
menyimpan dalam otak, perkataan yang tidak berarti buat orang lain, tetapi
penuh dengan
pengetahuan buat saya.
Buat
keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan perkataan ini, saya namakan
"jembatan
kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun tidak sama dengan ezelbruggece yang terkenal.
Buat menjawab
pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya
pakai jembatan
keledai saya : "AFIAGUMMI’’.
A huruf yang
pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament. Artinya ini
kekuatan udara
kekuatan darat, dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan
A huruf
pertama itu bisa membawa "jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah
susunan
huruf pada
perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara).
Sesudah
dibandingkan
perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus diuji perkara yang
kedua, yakni
Finance, terpotong oleh huruf "F’’. keuangan dsb.
Demikianlah
"jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta seperempat
atau setengah
brosure kalau dituliskan. Dalam ekonomi, politik, muslihat perang, science dan
sebagainya
saya ada menyimpan "jembatan keledai. Kalau buku penting yang saya baca
ada
dalam bahasa
Inggris, maka "jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan
atau
sebagian
perkataan inggris.
Kalau tidak
beratus, niscaya berpuluh ada "jembatan keledai’’ di dalam kepala saya.
"ONIFMAABYCI
AIUDGALOG’’ yang berbunyi bahasa Sanskreta, bukanlah bahasa
Sanskreta atau
bahasa Hindu, melainkan teori ekonomi yang bertentangan dengan teori
ekonomi
Mahatma Gandhi.
Kalau badan
saya ada sehat, maka perkataan guru itu biasanya mudah saya tangkap. Isinya
saya ternakkan
dan masukkan ke dalam "jembatan keledai’’. Kalau kertas atau buku
peringatan
saya umpamanya dibeslah (disita – catatan editor) di Manila atau Hongkong oleh
polisi, maka
hal itu tiada berarti dia tahu membaca perkataan itu, malah sudah pernah
menjadikan
mereka pusing kepala berhari-hari, mengira yang tidak-tidak.
Dalam buku
yang akan ditulis di belakang hari (kalau umur panjang!) saya kelak bisa
meneruskan
cerita "jembatan keledai’’ saya ini. Saya angap "jembatan keledai’’
itu penting
sekali buat
pelajar di sekolah dan paling penting buat seseorang pemberontak
pelarian-pelarian.
Bukankah seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya,
seringan-ringannya?
Ia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun
pakaian.
Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai
tolan. Dia
haruslah
bersikap dan bertindak sebagai "marsuse’’ (angkatan militer siap gempur –
catatan
editor) yang
setiap detik siap sedia buat berangkat, meninggalkan apa yang bisa mengikat
dirinya lahir
dan batin.
Ringkasnya
walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya terlantar cerai-berai
dan lapuk atau
hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia atau dalam tebat di muka rumah
tuan Tan King
Cang di Upper Seranggoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya
kehilangan
"isinya’’ buku-buku yang berarti.
Tetapi barang
yang lama itu tentu boleh jadi rusak. Catatan atau makna yang saya
kemukakan dari
pikiran orang lain boleh jadi tiada cukup atau bertukar arti. Dalam hal ini
sekali lagi
saya minta maaf dan simpati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar